Kamis, 22 Maret 2012

PSIKOLOGI REMAJA

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

            Oleh : Sy.Abubakar Al Qadrie

          Dalam tahap perkembangan peserta didik dampak yang paling mendominasi dalam tatanan kehidupan mereka adalah perkembangan moral. Moral merupakan salah satu masalah klasikal yang menarik minat mereka yang ingin tahu mengenai sifat dasar manusia. Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat mengenai tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat di terima, tingkah laku etis dan tidak etis, dan cara-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku yang dapat diterima dan etis kepada remaja. Hal penting lain dari teori perkembangan moral  adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral sesorang, akan semakin terlihat adab dan perilaku yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya.
            Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral, “agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya”. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bias memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya. Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada diawan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.

  • PERKEMBANGAN MORAL PADA REMAJA
                    Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, diantaranya :
  1. Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain.
  2. Larangan berbuat maksiat kepada Allah SWT, baik yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain seperti : mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi dan lai-lain.
             Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Pada era transformasi Teknologi Informasi dan Komunikasi dewasa ini yang telah menjadi bagian dari essensi kehidupan, remaja harus dapat mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru.
            Lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan remaja yaitu ) :
  1. Pandangan moral individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.
  2. Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
  3. Penilaian moral menjadi semakin kognitif.
  4. Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
  5. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya ) tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut :

Tingkat Pra Konvensional
            Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:

Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas

Tahap 2 : Orientasi Relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.

Tingkat Konvensional
           Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :

Tahap 1 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau yang disebut dengan
orientasi “anak manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.

Tahap 2 : Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.

Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)
           Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:

Tahap 1 : Orientasi kontrak sosial Legalitas
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.

Tahap 2 : Orientasi Prinsip Etika Universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.

                Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
Menurut Kohlberg, tahap perkembangan moral ketiga, moral moralitas pascakonvensional harus dicapai selama masa remaja. Tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar apabila hal ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap kedua individu menyesuaikan dengan standar sosial dan ideal yang di internalisasi lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri daripada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
1) Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
2) Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
3) Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.

                 Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
               Teori Psikoanalisis tentang perkembangan moral membagi struktur kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan superego.
Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari.
Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas.
Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek social yang berisikan system nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan "benar" atau "salahnya" sesuatu.

  • PERKEMBANGAN SPIRITUAL PADA REMAJA
                 Latar belakang kehidupan keagamaan remaja dan ajaran agamanya berkenaan dengan hakekat dan nasib manusia, memainkan peranan penting dalam menentukan konsepsinya tentang apa dan siapa dia, dan akan menjadi apa dia. Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terdiri atas suatu sistem tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan praktek-praktek yang kita anut, pada umumnya berpusat sekitar pemujaan.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut pandangan sosial, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya. Bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
                Penemuan lain menunjukkan, bahwa sekalipun pada masa remaja banyak mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka, namun pada akhirnya kembali lagi kepada kepercayaan tersebut. Banyak orang pada usia dua puluhan dan awal tiga puluhan, tatkala mereka sudah menjadi orang tua, kembali melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka abaikan )
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini. Dalam suatu studi ) tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal, operational, religious thought, di mana remaja memperlihatkann pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotesis. Perubahan perkembangan yang sama, pada anak-anak dan remaja.
                Bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan pengharapan konsep-konsep abstrak ketika membuat pertimbangan tentang agama. Apa yang dikemukakan tentang perkembangan dalam masa remaja ini hanya merupakan ciri-ciri pokoknya saja.
                 Pandangan lain dalam perkembangan konsep religius. Indiduating-reflexive faith adalah tahap yang dikemukakan Fawler, muncul pada masa remaja akhir yang merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas keagamaan. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, individu memiliki tanggung jawab penuh atas keyakinan religius mereka. Sebelumnya mereka mengandalkan semuanya pada keyakinan orang tuanya.
                   Salah satu area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual. Walaupun keanakaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak mendukung seks pranikah. Oleh karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks. Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama. Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual disamping emosional dan volisional (konatif) mengalami perkembangan.
                  (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam dua tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
1) Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
  • Sikap negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
  • Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
  • Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
2) Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikut ini:
  • Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
  • Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
  • Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi, ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran yang baik dari yang tidak baik. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan hidup didunia ini.
                  Banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosial dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.

  • PENUTUP
  1. Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan.
  2. Lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan remaja yaitu :
           a) Pandangan moral individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.
           b) Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah.
                 Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
           c) Penilaian moral menjadi semakin kognitif.
           d) Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
           e) Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral
                merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.

     3. Tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut :
          a) Tingkat Pra Konvensional
          b) Tingkat Konvensional
          c) Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)

              Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
a) Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
b) Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
c) Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
               Perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam dua tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda, yatu :

Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
  • Sikap negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
  • Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
  • Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikut ini:
  • Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
  • Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
  • Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi, ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran yang baik dari yang tidak baik. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan hidup didunia ini.
 Wallahu A'lam Bissawab.

Nanga Tepuai, 22 Maret 2012
H. Sy. Abubakar Al Qadrie

DAFTAR PUSTAKA
1. Cahyadi, Ani, 2006, Psikologi Perkembangan, Ciputat : Press Group
2. Desmita, 2007. Psikologi Perkembangan, Bandung : Rosda Karya
3. Hamalik Oemar, 1995. Psikologi Remaja (dimensi-dimensi perkembangan), Bandung: Maju
     Mundur
4. Yusuf, Syamsu, 2007, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Rosda Karya
5. Nurihsan, Juntika, 2007. Perkembangan Peserta Didik, Bandung : Sekolah Pasca Sarjana UPI

Read More......

Rabu, 21 Maret 2012

PSIKOLOGI ANAK

TAHAP –TAHAP PERKEMBANGAN ANAK

Oleh : H. Sy. Abubakar Al Qadrie


1.      Masa Usia anak 0 – 2 tahun ( Periode Sensorimotor )
Masa usia anak 0 – 2 tahun disebut juga dengan sensorimotorik (dalam pengamatan dan penginderaan) dimana pada usia ini sangat sensitif terhadap dunia sekitarnya. Dalam periode ini Prestasi intelektual yang dicapai ialah perkembangan bahasa, hubungan tentang obyek, kontrol skema, kerangka berfikir, pembentukan pengertian, pengenalan hubungan sebab akibat.
Perilaku kognitif tampak antara lain:
a.      menyadari dirinya berbeda dari benda-benda lain di sekitarnya;
b.      sensitif terhadap rangsangan suara dan bahaya;
c.       mencoba bertahan pada pengalaman-pengalaman yang menarik;
d.     mendefenisikan obyek/benda dengan manipulasinya;
e.      mulai memahaminya ketepatan makna suatu obyek meskipun lokasi dan posisinya berubah.
Firman Allah  dalam surat an-Nahl ayat 78
                                                                                                                     
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

Berdasarkan firman Allah terbut, pada anak usia seperti ini sentuhan nilai-nilai Keagaman diberikan pada anak diantaranya :

a.      Pada masa dalam kandungan
  1. Orang tuanya terutama ibu hendaknya sering membaca Al Qur’an dan mendengarkannya baik melalui audio visual maupun lainnya
  2.  Berperilaku yang santun sesuai dengan norma Agama
  3.  Terapi dengan menggunakan musik

b.      Pada masa kelahiran sampai usia 2 tahun
  • F Ketika lahir anak diazankan dan diiqamatkan.
  • F Dibiasakan untuk didengarkan ayat-ayat Al Qur’an baik secara langsung maupun melalui media visual ketika akan ditidurkan
  • F Diajarkan sedikit-sedikit pengucapan lafal Al Qur’an

2.      Masa Usia anak 2 – 7 tahun ( Periode Preoperational ) 
       
Masa usia anak 2 – 7 tahun disebut juga dengan Periode Preoperational Periode Preoperational terbagi kedalam dua tahapan yaitu : 
a.      Tahap preconceptual pada umur 2 – 4  tahun
Periode preconceptual ditandai dengan cara berfikir yang bersifat transduktif (menarik konklusi tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal خصوص

Sentuhan nilai-nilai Keagamaan yang diberikan pada usia ini :
  • Pengenalan peralatan sekitarnya yang dikaitkan dengan huruf hijaiyah.
  •   Menajarkan dengan menuntun tangannya untuk menulis huruf Hijaiyah.
  •  Menyebutkan Huruf-huruf Hijaiyah  kemudian diminta untuk diikuti pengucapannya menskipun belum sempurna.

b.      Tahap intiutive pada umur 4 – 7  tahun.
Priode intuitif ditandai oleh dominasi pengamatan yang bersifat egocentric (belum memahami cara orang lain memandang objek yang sama), seperti searah (selancar),
Perilaku kognitif yang tampak antara lain:
1)      Self-centered dalam memandang dunianya
2)      Dapat mengklasifikasikan objek-objek atas dasar satu ciri tertentu yang memiliki ciri yang sama, mungkin pula memilki perbedaan dalam hal yang lainnya
3)      Dapat melakukan koleksi benda-benda berdasarkan suatu ciri atau kriteria tertentu
4)      Dapat menyusun benda-benda, tetapi belum dapat menarik inferensi dari dua benda yang tidak bersentuhan meskipun terdapat dalam susunan yang sama.
Dalam hal ini, lebih tertumpu pada penggunaan akal:
ü  Mengembangkan budaya membaca, Islam memandang membaca itu sebagai budaya intelektual
ü  Mengadakan banyak observasi dengan penjelajahan-penjelajahan dimungkinkan banyak menemukan realitas lingkungan bio-fisik, lingkungan sosio-kultural maupun lingkungan psikologis, dan akan memberikan kekayaan informasi yang diperlukan untuk memperluas horizon pemikiran manusia,

Sentuhan nilai-nilai Keagamaan yang diberikan pada usia ini, diantaranya :
  1. Membiasakan anak untuk melakukan shalat dan amal ibadah ringan lainnya 
  2.  Menajarkan tata krama/ perilaku yang sesuai dengan tuntunan Akidah Islamiyah.
  3.  Membiasakan menderkan nasihat yang baik 
  4.  Membiasakan mendengarkan ayat-ayat suci Al Qur’an

Dalam hal ini sesuai dengan Al Qur’an Surat al-Haj ayat 46,
Artinya: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”

                 Untuk melihat, memperhatikan, dan mengambil ibrah dengan anggota badan dan hatinya Allah swt mengajak hambanya untuk mengadakan perjalanan. Dengan kata lain bahwa hatinya dapat memahami dan mengerti ayat-ayat Allah swt. Dengan telinga dapat mendengar tentang berita orang-orang terdahulu yang disiksa oleh Allah swt. Sesuai dengan firman Allah swt :
Artinya: “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”
           
3.      Masa Usia anak 7 – 12 tahun ( Periode Concrete Operational )
         Masa usia anak 7 – 12 tahun disebut juga dengan Periode Concrete Operational, artinya kemampuan dan kecakapan yang baru menandai periode ini, ialah dengan melalui  mengklasifikasikan angka-angka atau bilangan. Dalam periode ini anak mulai pula menkonservasi pengetahuan tertentu. Perilaku kognitif yang tampak pada periode ini ialah kemampuan dalam proses berfikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat konkrit.

Sentuhan nilai-nilai Keagamaan yang diberikan pada usia ini, diantaranya :
  • Menyuruh anak melalukan shalat dan memukulnya apabila tidak melakukan shalat pada usia 10 tahun sesuai dengan ajaran Nabi SAW.
  •  Mengajarkan Al Qur’an secara langsung oleh orang tua atau dititpkan pada tempat pengajian.
  •  Membangun komunikasi dengan anak
  • Menjelaskan tentang ajaran Akidah Islamiyah serta memberikan contoh suri tauladan kepada mereka

Allah swt telah memberikan contoh-contoh tauladan dalam kehidupan yang tergambar didalam al-Qur’an surat Luqman ayat 18-19,

Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Ayat diatas (surah Lukman, ayat 14-19) merupakan pesan atau wasiat Lukman kepada anak-anaknya yang mencakup realita kehidupan. Setiap wasiat agar senantiasa diperhatikan dengan seksama, apabila perintah maka anjuran untuk dikerjakan. Sebaliknya, larangan anjuran untuk ditinggalkan larangan tersebut.

4.      Masa Usia anak 12 tahun keatas ( periode Operational Formal )

                  Masa usia anak 12 tahun keatas disebut juga dengan Operational Formal (Verbal) Periode, artinya sudah ditandai mampu mencari jati dirinya sendiri, baik keagamaan, sahabat, dan lain-lain dan hanya dalm perkembangan selanjutnya mampu memberikan pengarahan orang tua, karena ada kecenderungan untuk positif atau negatif. Perkembangan ini sangat menentukan arah kedepan dalam pemelihan cita-cita, pacar, mungkin profesi, maka perlu bimbingan dan arahan langkah selanjutnya.
         Menurut Imam As-Syathibi, ada tiga hal kemaslahatan: Kemaslahatan yang dhuriyaat, terdiri-dari:
1)      Agama (ad-din)
2)      Jiwa (an-nafs)
3)      Akal (al-aql)

a.      Masa Pendidikan Anak
 Pada masa ini, anak-anak sudah berusia antara 6 hingga 14 tahun. Pada masa ini, anak-anak harus mempelajari prinsip kebudayaan Islam dari Alquran, puisi-puisi Arab, kaligrafi, juga para pemimpin Islam. Menurut Ibnu Sina, pendidikan pada masa ini harus dilakukan dalam kelompok-kelompok, bukan perseorangan. Sehingga siswa tidak merasa bosan. Selain itu, mereka bisa belajar mengenai arti persahabatan.

b.     Masa usia 14 tahun ke atas
Pada masa remaja ini, mereka dipersiapkan untuk mempelajari tipe pelajaran tertentu supaya  memiliki keahlian khusus. Selain itu, mereka harus mempelajari pelajaran yang sesuai dengan bakat mereka. Mereka juga tidak boleh dipaksa untuk mempelajari dan bekerja di bidang yang tidak mereka inginkan dan mereka pahami. Namun pelajaran dasar harus diberikan kepada mereka.
Ibnu Sina menganggap pendidikan pada anak-anak maupun remaja harus diberikan karena pendidikan itu memiliki hubungan yang erat antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dan social (agama).  Seorang remaja harus dibekali ketrampilan-keterampilan sesuai bakat dan kemampuannya, sehingga ia berkembang sesuai dengan keahlianya yang mendukung pekerjaannya dimasa mendatang. Al-Ghazali menekankan pentingnya pembentukan karakter. Dengan memberikan pendidikan karakter yang baik maka orang tua sudah membantu anak-anaknya untuk hidup sesuai jalan yang lurus. Namun, pendidikan yang buruk akan membuat karakter anak-anak menjadi tidak baik dan berpikiran sempit sehingga sulit membawa mereka menuju jalan yang benar kembali.Oleh karena itu, anak-anak harus belajar di sekolah dasar sehingga pengetahuan yang diperoleh sejak masih kecil akan melekat kuat bagai ukiran di atas batu. Selain itu, anak-anak juga harus diyakinkan bahwa mereka harus selalu mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
Anak-anak terus berkembang, pada usia remaja mereka akan merasa tertarik dengan lawan jenis, lalu pada usia 20 tahun, mereka merindukan menjadi pemimpin, dan pada usia 40 tahun orang membutuhkan kedekatan dan kesenangan terhadap pengetahuan akan Tuhannya.Pada masa anak-anak, orang tua harus mengajari mereka ilmu Alquran dan hadis. Selain itu, mereka harus dijaga dari  puisi-puisi cinta. Sebab hal itu, kata dia, bisa menjadi bibit yang buruk bagi jiwa seorang anak laki-laki.                                    .         Mereka juga harus diajari mematuhi nasehat orang tua, gurun, serta orang-orang yang lebih tua. Selain itu mereka juga harus diajarkan menjadi orang yang jujur, sederhana, dermawan, dan beradab. Selain itu, anak-anak sebaiknya memiliki teman yang bermoral baik, berkarakter baik, pandai, serta jujur.


Nanga Tepuai, 21 Maret 2012
Wassalam,
H. Sy. AbubakarAl Qadrie

Read More......

Selasa, 20 Maret 2012

PROFESIONALIME GURU

PROFESIONALISME GURU
Oleh : H. Sy. Abubakar Al Qadrie

Pengembangan dan peningkatan mutu profesionalitas guru Indonesia bukan persoalan mudah dan jangka pendek, melainkan persoalan pelik dan jangka panjang. Oleh karenaitu, baik guru maupun masyarakat dan pemerintah harus bersinergi dan berkomitmen untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu profesionalitas guru (wiyono, 2005). Hal ini harus dilakukan secara berkelanjutan, tidak boleh hanya sekali jadi, karena profesionalitas guru terus berkembang, tidak pernah mengenal kata berhenti. Tanpa profesionalitas, guru tidak mungkin diharapkan menjadi pemicu utama peningkatan mutu pendidikan khususnya pembelajaran.
Rendahnya mutu pendidikan khususnya pembelajaran Indonesia merupakan cerminan rendah atau kurangnya mutu profesionalitas guru dalam melaksanakan dan mempertanggung jawabkan pembelajaran. Rendahnya mutu profesionalitas guru-guru di Indonesia menurut Rasio (2006) disebabkan antara lain:
1.    Masih cukup banyak guru Indonesia baik yang bertugas di SD/MI maupun di SLTP/MTs dan SMA/MA yang tidak berlatar belakang pendidikan sesuai dengan ketentuan dan bidang studi yang dibinanya, tapi tidak mau berusaha belajar untuk menjadi seorang yang betul-betul memahami hakikat Guru yang sebenarnya. Menjadi seorang guru hanya dianggapnya sebagai pekerjaan alternatif karena tidak atau belum diterima menjadi PNS.
2.    Masih sangat banyak guru Indonesia yang memiliki kompetisis rendah dan memprihatinkan.
3.    Masih banyak guru di Indonesia yang kurang terpacu dan termotivasi untuk memberdayakan diri, mengembangkan profesionalitas diri atau memutakhirkan pengetahuan mereka secara terus-menerus dan berkelanjutan, meskipun cukup banyak guru Indonesia yang sangat rajin menaikkan pangkat mereka dan sangat rajin pula mengikuti program-program pendidikan kilat atau jalan pintas yang dilakukan oleh berbagai lembaga pendidikan.
4.    Masih sangat banyak guru Indonesia yang kurang terpacu, terdorong, dan tergerak secara pribadi untuk mengembangkan profesi mereka sebagai guru.

Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kehadiran guru bagi peserta didik ibarat sebuah lilin yang menjadi penerang tanpa batas tanpa membedakan siapa yang diterangi nya demikian pulan terhadap peserta didik. Tetapi, dalam mengemban amanah sebagai seorang guru, perlu kiranya tampil sebagai sosok profesional. Sosok yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan, sosok yang dapat memberi contoh teladan dan sosok yang selalu berusaha untuk maju, terdepan dan mengembangkan diri untuk mendapatkan inovasi  yang bermanfaat sebagai bahan pengajaran kepada anak didik.
Pendidikan sangat bergantung pada hubungan triangulasi antara kurikulum, tenaga pendidik, dan peserta didik. Keterpautan tiga komponen tersebut akan mengindikasikan kualitas outcome yang merupakan refleksi dari sistem pendidikan. Sistem pendidikan pada dasarnya adalah mesin cetak yang akan membentuk mental bangsa di masa mendatang. Lantas apa jadinya bila kita merenungi kemampuan anak didik kita dibandingkan dengan prestasi anak didik negara lain.
Pendidikan di Abad Pengetahuan Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi kedesentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris,(8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/ ke pilihan majemuk. Berbagai implikasi kecenderungan di atas berdampak terhadap dunia pendidikan yang meliputi aspek kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode pendidikan.

A.   DEFINISI PROFESIONAL
Profesi adalah suatu pekerjaan yang dalam melaksanakan tugasnya memerlukan/ menuntut keahlian, menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi tinggi. Kata profresionalitas tidak hanya digunakan untuk pekerjaanyang telah diakui suatu profesi, melainkan hampir terhadap setiap pekerjaan. Muncul suatu unngkapan misalnya “supir profesional” atau “tukang profesional” bahkan yang sangat ekstrim lagi adanya istilah “penjahat profesional”.
Menurut Drs. H. Alfian Khairani, M. Pd, pada “Pendidikan Profesi Guru Tahun 2009” pengertian profesional dijabarkan sebagai berikut :
  1. Tidak berganti-ganti pekerjaan
  2. Memiliki bidang ilmu tertentu dan keterampilan dalam khalayak ramai.
  3. Menggunakan hasil penelitian dari teori ke praktek.
  4. Memerlukan pelatihan khusus dalam waktu yang panjang.
  5. Profesi terkendali berdasarkan lisensi yang bakudan atau mempunyai persyaratan tertentu.
  6. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu.
  7. Menerima terhadap keputusan yang diambil.
  8. Memiliki komitmen
  9. Menggunakan administrator untuk menggunakan proses profesinya.
  10. Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggotanya sendiri.
  11. Asosiasi profesi dan atau kelompok elite untuk mnegetahui keberhasilan anggotanya.
  12. Mempunyai kode etik.
  13. Visi mempunyai kadar kepercayaan publik
  14. Status sosial dan ekonomi yang tinggi.
Selain dari itu, beberapa istilah yang ada hubungan dengan profesi perlu juga untuk dikenali dan dipahami seperti : (1) profesional, (2) profesionalisme, (3) profesionalitas, (4) profesionalisasi. (Djam’an Satori,2005).
Profesional,       merujuk pada dua hal, yaitu :
1)    orang yang menyandang suatu profesi.
2)    penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.
Oleh karena itu istilah profesional sering dikontraskan dengan “amatir”.
Profesionalisme, merujuk kepada komitmen para anggota suatu profesi
Untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.
Profesionalitas,  pada satu sisi mengacu pada sikap para anggota profesi
terhadap profesinya. Di sisi lain mengandung arti derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dalam rangka melakukan pekerjaannya.
Profesionalisasi merujuk pada proses peningkatan kualifikasi maupun
Kemampuan para anggota profesi dalam mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai suatu profesi.

B.   ELEMEN KOMPETENSI PENGEMBANGAN Profesionalitas Guru
Pengembangan elemen-elemen kompetensi tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah,akan tetapi musti dilakukan dalam bingkai utuh kompetensi guru. Bahan ajar disusun dengan kerangka pikir bahwa kompetensi guru merupakan bentuk integrasi yang bersenyawa dari berbagai pengetahuan dan ketrampilan yang sisi-sisinya akan menampakkan beberapa hal sebagai berikut :
Ø  penguasaan dalam disiplin ilmu secara baik dan mendalam (kompetensi profesional),
Ø  penguasaan teori belajar dan pembelajaran serta mengenal peserta didik secara mendalam (kompetensi Pedagogis),
Ø  pengembangan pembelajaran, yang terdiri atas kemampuan menganalisis isi dan mengorganisasi isi,merancang skenario pembelajaran,menyusun perangkat pembelajaran, dan mengembangkan sistem evaluasi (kompetensi pedagogis dan profesional),
Ø  melaksanakan pembelajaran yang mendidik (kompetensi pedagogis dan profesional), kinerja tersebut memerlukan dukungan
Ø  penguasaan bidang-bidang lain yang diperlukan untuk meningkatkan pembelajaran dan memutakhirkan pengetahuan dan ketrampilan pemdidik (kompetensi sosial dan kepribadian),
Ø  sikap,nilai, dan kebiasaan berfikir produktif,serta perilaku yang menunjang tampilan kinerja pendidik (kompetensi sosial dan kepribadian).
Kompetensi Pengembangan Profesionalitas Guru yang tertuang dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, secara global tergambar  menjadi 4 komponen dasar  yaitu :
Ø  kompetensi pedagogis,
Ø  kompetensi profesional (penguasaan bidang ilmu yang diajarkan),
Ø  kompetensi sosial,
Ø  kompetensi kepribadian
 
C.   PENGEMBANGAN PROFESIONALITAS GURU
Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di negara lainnya, pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar standar pengembangan profesi guru yaitu;
(1)  Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam;
(2)  Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar;
(3)  Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar
(4)  Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di pada negara maju, maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana uraian di atas, pada negara yang telah maju pendidikannya sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad ini yaitu :
1.    Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang;
2.    penguasaan ilmu yang kuat;
3.    keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi;
4.    pengembangan profesi secara berkesinambungan.
Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
Dimensi lain dari pola pembinaan dan pengambangan profesionalitas guru adalah (1) hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA/ MA; (2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match; (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang; (9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).

PENUTUP
Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Salah satu aspek penting dalam pengembangan  profesionalitas guru di sini adalah terletak pada kemampuannya meningkatkan modal intelektual, modal sosial, kredibilitas dan semangatnya dalam mengemban tugas sebagai guru. Ada tiga tugas utama guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik dalam arti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar dalam arti meneruskan dan mengembangkan IPTEK, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan pada peserta didik. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa di sekolah harus dapat menjadi orang tua kedua, dapat memahami peserta didik dengan tugas perkembangannya mulai dari sebagai makhluk bermain (homoludens), sebagai makhluk remaja/berkarya (homopither), dan sebagai makhluk berpikir/dewasa (homosapiens). Guru juga bertugas membantu peserta didik dalam menstransformasikan dirinya sebagai upaya pembentukan sikap dan mengidentifikasikan diri sebagai peserta didik.
Dari uraian diatas , dapat ditarik benang merah bahawa hasil yang diharapkan dari pengembangan profesionalitas  guru adalah
1.    Guru mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan secara terus menerus.
2.    Guru memahami perkembangan pandangan (konsepsi),teori, dan paradikama belajar dan pembelajaran.
3.    Guru mampu mengembangkan teori belajar dan pembelajaran berdasarkan pengalaman sehari-hari.
4.     Guru mampu memahami karakteristik peserta didik dan menjadikan pemahamannya sebagai pijakan pengambilan keputusan dalam menetapkan strategi pembelajaran.
5.     Guru mampu mengembangkan pembelajaran dengan model pembelajaran yang inovatif.
  1. Guru mampu menganalisis tujuan, isi pembelajaran, dan menetapkan strategi pengorganisasian isi pembelajaran
  2. Guru mampu memilih dan menetapkan sistem evaluasi pembelajaran.
  3. Guru mampu mengimplementasikan rancangan pembelajaran
  4. guru mampu mengembangkan diri secara berkelanjutan


Nanga Tepuai, 20 Maret 2012
H. Sy.  AbubakarAl Qadrie














DAFTAR PUSTAKA
1.         Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.

2.         Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21 Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998.

3.           Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.

4.         Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.

5.         Prof. DR. H. Syaifuddin Sabda, M.Ag. 2009.  TELAAH DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM QUR`AN HADITS  PADA MADRASAH TSANAWIYAH. Banjarmasin : Bahan Ajar Telaah Kurikulum Qur’an Hadits

Read More......